Sabtu, Juli 26, 2008

SUNGGUH, MENULIS PUISI (TIDAK) GAMPANG!


SUNGGUH, MENULIS PUISI (TIDAK) GAMPANG!
Aveus har


Dan engkau bertanya: dari mana seorang penyair menggali inspirasi? Penyair punya pengalaman yang berbeda-beda dalam menggali inspirasi. Itu sangat tergantung pada pengalaman hidup mereka dan sejauh mana mereka menghayati serta merenungkan pengalaman hidup itu. Namun demikian, inspirasi sesungguhnya bisa digali di mana saja….. (Jamal D. Rahman, kakilangit 137/mei 2008)

Tampaknya kok gampang sekali. Memang konon menulis puisi itu gampang. Tinggal mengalirkan saja apa yang ingin ditulis, dengan kata-kata puitis. Apalagi kalau lagi jatuh cinta. Atau pula patah hati. Bisa jadi, sebagian besar kita memang bisa menjelma menjadi penyair dadakan kalau sedang jatuh cinta. Seperti sajak lamaaaa….

Dari mana datangnya lintah
Dari sawah turun ke kali
Dari mana datangnya cinta
Dari mata turun ke hati

Basi banget ya…. Tapi dulu sering banget dikutip untuk pemanis surat cinta. Kalau sekarang mungkin beda lagi. Tapi hakekatnya sama saja. Mengalirkan perasaan lewat untaian kata.

Lagi patah hati juga sip banget nulis puisi. Ketika hati terasa perih teriris-iris, namun mata tak ingin lagi menangis, maka biarkan puisi mendesis…. Seperti puisiku ini:

Lila
: untuk ia yang belia

kuingin kau pergi
karena apa yang kaucari
bukanlah diri ini

Biarkan aku sendiri
Menunggu dalam sepi


Tapi benarkah semudah itu menulis puisi? Benarkah apa saja bisa menjadi puisi? Benarkah asal kita tuangkan saja isi hati dengan kata-kata puitis, lalu menjadi puisi? Tidak perlukah bersemadi misalnya?

Memang begitu kata para penyair yang tulisannya pernah aku baca. Tapi … puisinya puisi apa? Puisi snack yang ringan dan mudah terlupakan begitu saja, atau kah ingin menulis puisi yang bisa bertahan lama karena berbobot, tidak klise dan indah pilihan katanya?

Kalau yang aku tangkap dari tulisan di horison, seringkali kutemukan kalimat ‘kering metafora’ untuk menunjukkan puisi-puisi yang ‘basi’. Artinya, kalau menulis puisi, meski ingin mengungkapkan ‘ini’ dengan metafora ‘itu’ sehingga terasa benar taste-nya. Tapi tidak harus dengan kata-kata yang bikin dahi berkerat-kerut lho. Meminjam kata Rene Wellek & Austin Warren (1993:20), bahasa puisi (musti) penuh pencitraan, dari yang paling sederhana sampai sistem mitologi. Nah, kan?

Artinya, jika puisi diciptakan berdasarkan perenungan mendalam, tanpa dipengaruhi kebutuhan apa pun, akan menjadi puisi sejati. Contohnya puisi-puisi Chairil Anwar. Dalammm… banget kan?

Misalnya, dengan merenungkan dan mencari metafor lain, puisiku akhirnya menjadi seperti ini:

Lila
:untuk ia yang belia

pergilah,
subuhmu baru saja mulai
sedang senjaku telah temaram
angkasa menanti kau jelajahi
biar kucari dahan tuk mengeram sepi
sendiri

Malah lebih bagus atau lebih jelek sih? Lebih bagus kan?

Kesimpulannya, lagi-lagi meminjam kesimpulan Wellek & Warren, bahwa tipe-tipe puisi harus memakai paradoks, ambiguitas, pergeseran arti secara konstektual, asosiasi irasional, memperkental sumber bahasa sehari-hari, bahkan dengan sengaja membuat pelanggaran-pelanggaran.

Jadi, siapa bilang menulis puisi (yang bermutu) itu mudah? Sulit juga. Bagi aku yang terbiasa menulis cerpen (dan udah ratusan dipublikasikan di buku dan majalah) menulis puisi yang bisa terpampang di majalah atau koran susahhh… banget! Lebih enak menulis puisi untuk konsumsi sendiri. Untuk dipajang di buku. Untuk di-sms-kan teman atau gebetan.

Tapi kalau memang kita berniat sekali mendalami puisi, ada saran dari penyair-penyair beneran, perbanyaklah membaca puisi orang yang sudah diakui mutunya. Belajarlah memahami puisi-puisi itu. Tak kalah bermanfaatnya membaca ulasan-ulasan maupun telaah karya. Dan penting juga, membaca buku-buku tentang menulis puisi.

Tapi lebih penting dari itu, cintailah puisi, maka ia akan mencintaimu. Tulislah terus puisi. Jangan takut dibilang jelek. Kalau ada yang bilang puisimu jelek, bertanyalah, bagaimana agar bisa menulis puisi dengan lebih baik?

Orang yang cuma berkomentar negatif tanpa memberikan solusi sama seperti tong kosong berbunyi nyaring.

Apakah hanya orang yang sudah banyak makan asam garam saja yang bisa membuat puisi hebat? Tidak juga. Abdurahman Faiz, yang masih SD saja bisa menulis puisi berikut:

Engkau adalah puisi abadiku
yang tak mungkin kutemukan
dalam buku" (Puisi Bunda 2, November 2003).

Keren kan? Mulai sekarang, yuk kita menyuntuki apa yang akan kita tulis. Merenungi hingga sedalam-dalamnya. Menyaring kata-kata hingga terpilih metafor-metafor indah tidak basi. Dan tidak sekedar menuangkan uneg-uneg dengan diindah-indahkan. Meski, yah, itu juga bisa disebut puisi. Puisi snack. Ringan tak bergizi.

Mau yang mana?
***

Tidak ada komentar: