Sabtu, April 12, 2008

IMAJINASI (TIDAK) BUTUH RUMAH

Aveus Har
Koordinator Komunitas Rumah Imaji
rumahimaji@gmail.com

IMAJINASI (TIDAK) BUTUH RUMAH
(Sebuah Pengantar)

“Pengajaran sastra yang teratur di SMU kita, sejak Indonesia merdeka penuh, baru berlangsung 50 tahun. Berdampingan dengan pengajaran bahasa, pengajaran sastra terdesak ke tepi kursi, hanya diberi tempat sesempit 20%, sedangkan yang 80% dengan lapang diduduki oleh pengajaran kaidah tata bahasa” (Taufik Ismail, di Horison Edisi September 2000:4).

Berapa jumlah sel otak kita? Pertanyaan menarik ini saya dapatkan dari Buku Pintar Mind Map (Tony Buzan, 2006). Mencengangkan bahwa jumlahnya 1.000.000.000.000! Dengan pembagian otak kiri dan kanan yang berbeda fungsi di mana otak kiri adalah sisi intelektual dan sisi otak kanan adalah seni. Sistem pendidikan formal kita lebih mengedepankan sisi otak kiri dan mengabaikan sisi otak kanan, padahal dari penelitian ditemukan bahwa kinerja otak tidak berfungsi optimal ketika kita hanya mengandalkan satu sisi otak. Lalu apa yang bisa kita lakukan?

Imajinasi adalah salah satu keterampilan otak kanan. Sebagian besar orang memahami imajinasi sebagai khayalan, yang sesungguhnya merupakan ilusi dan fantasi. Keduanya berbeda dengan imajinasi. Imajinasi bukan khayalan, melainkan deskripsi abstrak dan ideal dari gagasan, ide, dan mimpi yang dapat diwujudkan. Karena itu, imajinasi memadukan secara serasi dan selaras intuitive reason dalam realitas pertama kehidupan. Buah nalar di luar empirisma yang bisa diubah menjadi pengalaman empiristis. Baik dirangsang oleh persentuhan indra terhadap sesuatu yang sudah ada, ataupun penghampiran nalar terhadap sesuatu yang sebelumnya tidak ada (Haesy, 2008).

Maka tak selayaknya imajinasi diberi rumah jika rumah diartikan sebagai pembatas gerak. Karena batasan imaji adalah tak terbatas. Namun jika rumah diartikan sebagai pengayom, pelindung dan tempat bercengkerama, kita bangun rumah imaji sebagai tempat berkumpul dan bercengkerama imajinasi kita.

Di ranah inilah bunga rampai ini mengada. Menjadi salah satu beranda di mana imajinasi kita bercengkerama sembari mencoba menjadi penyeimbang kerja otak agar tidak ‘mati sebelah’.
Ketika gagasan bunga rampai ini kami gulirkan, Drs. Kelik Suwarno, ketua Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kabupaten Pekalongan merespon dengan cinta dan dukungan penuh. Yang kembali ‘menggelindingkan’ hingga mendapat sambutan positif, dukungan dan cinta dari bupati Hj. Siti Qomariyah, M.A.. Tanpa cinta dan dukungan beliau, gagasan ini mungkin belum menemukan jalan untuk hadir di hadapan Anda.

Meski dalam waktu yang relatif singkat (kurang lebih sebulan), kami berusaha menggali karya-karya dari remaja dan pelajar di Kabupaten Pekalongan. Dengan keterbatasan kemampuan dan waktu, kami bersyukur mendapat bantuan dari beberapa guru yang peduli pada kebutuhan ruang ekspresi ini. Naskah yang masuk sungguh di luar dugaan. Banyaknya naskah memang belum sebanding dengan lembar halaman yang tersedia. Masih banyak naskah yang bagus namun tidak bisa kami sertakan. Sehingga jika ada naskah yang belum terangkum dalam bunga rampai ini, bukan berarti naskah itu lebih buruk.

Penyeleksian kami bukan semata berdasarkan rangking nilai. Kami tidak memilih juara. Sedapat mungkin kami juga berusaha mengakomodasi dari semua sekolah yang mengirimkan karya pelajarnya. Bagi yang belum bisa kami sertakan, sungguh, dengan penuh penyesalan kami meminta maaf. Semoga hal ini tidak membuat kita patah arang, justru sebaliknya membuat kita termotivasi untuk terus mengasah karya, mengolah imajinasi, dan mencoba menanamkannya di lahan lain. Mengirimkan karya sebanyak mungkin ke media meski belum berhasil menembus ketatnya seleksi niscaya akan mendewasakan karya kita.

Untuk penyeleksian ini, metode blink kami gunakan. Blink adalah metode penilaian dengan snap judgment (simpulan sekejap) dan thin slicing (sayatan tipis), sebuah kemampuan yang terbentuk oleh pengalaman (Gladwell, 2005). Dua orang penyeleksi yang kami minta bantuannya memang telah lama ditempa oleh pengalaman dalam dunia sastra dan penulisan kreatif. Mereka adalah Ghufron Muda dan Purwandi TD.

Sebuah karya tulis yang diterbitkan selayaknya pula mendapat pengeditan. Meski begitu kami berusaha membatasi pengeditan agar karya para penulis tetap utuh sebagai karya mereka tanpa make over yang berlebihan. Meski begitu, pengeditan tetap kami percayakan pada orang yang kompeten dan mempunyai jam terbang tinggi dalam kepenulisan kreatif. Pada Khairul Huda dan Nr. Ina Huda pengeditan ini kami percayakan.

Dan tentu saja, kerja sama tim yang solid dari teman-teman komunitas rumah imaji: Dedy, Widyasari, Karniti, SPd., Siti Khuzaiyah, Abdul Syukur, Fathul Hidayat, Kharisma Tiarawati dan teman-teman lain, membuat pengerjaan ini terasa ringan. Termasuk Pay yang memberikan sentuhan artistik lewat layout dan ilustrasinya.

Untuk semua remaja dan pelajar yang mengirimkan karyanya, baik yang bisa kami sertakan di buku ini maupun yang belum, tanpa karya-karya kalian bunga rampai ini hanya sebuah buku berlembar kosong.

Untuk semua pihak yang membantu terselesaikannya bunga rampai ini, baik yang bisa kami tuliskan maupun yang terluput, terima kasih atas cinta dan partisipasinya.
Akhirnya, selamat bercengkerama di beranda rumah kami, rumah imaji.

BERANDA ITU BERNAMA BURAM

BERANDA ITU BERNAMA BURAM

Dua kali pertemuan rumah imaji tidak terlaksana. Pertama karena kita sibuk dengan urusan bunga rampai, dan ke dua karena beberapa teman ada kesibukan. Sempat ada kekuatiran dalam diriku jika rumah kita roboh. Tapi alhamdulillah teman-teman masih peduli untuk tidak membiarkan rumah imaji roboh karena ditinggal sibuk penghuninya.

Dalam gambaranku ke depan, aku memang menginginkan bisa memberi warna dunia sastra sacara makro. Pertama secara regional, di daerah. Kebetulan Dewan Kesenian Daerah (DKD) Kabupaten Pekalongan dan Bupati menyambut gayung sehingga Bunga Rampai Sastra Remaja dan Pelajar bisa terwujud. Tapi ini hanyalah sebuah langkah awal, yang harus disusul dengan langkah-langkah berikutnya. Hal ini jelas menyita sebagian perhatian dan waktu (termasuk tenaga) aku sebagai koordinatornya. Aku menyadari teman-teman yang lain mempunyai banyak kesibukan sehingga belum optimal membantu untuk program-program ‘keluar’. Tapi aku harap, teman-teman bisa membantu untuk tetap menyemarakkan rumah kita dengan pemikiran, ide, gagasan dan tindakan nyata yang intinya membuat suasana rumah tidak nglangut.

Karena buram kita plot menjadi salah satu beranda rumah kita, maka karya teman-teman ikut serta bercengkrama di dalamnya. Sayangnya, jujur aku sedikit kecewa karena teman-teman tidak mempersiapkan karya dari jauh hari sebelumnya meski sudah kuminta. Sehingga karya teman-teman belum optimal. Malah beberapa lebih jelek dari karya ‘tamu’ kita di beranda ini.

Tapi tak apa, sebagai proses pembelajaran. Nantinya dari buram ini kita bisa mencoba mengevaluasi seberapa jauh kreativitas imaji kita.

Sembari aku mempersiapkan langkah-langkah ‘keluar’ selanjutnya, teruslah belajar dan berkarya. Termasuk diriku, nih. Udah dua minggu sibuk ngetik urusan administratif aja. Sebel deh!

Salam imaji!

Aveus har